A.
PENGERTIAN,
KLASIFIKASI, PENYEBAB, DAN CARA PENCEGAHAN
1.
Pengertian
Tunanetra
Sebenarnya penggunaan istilah buta kurang tepat, sebab tidak semua
tunanetra mengalami kebutaan. Istilah buta dimaksudkan untuk menunjukkan
seseorang yang sudah rusak penglihatannya sehingga sulit sekali untuk
difungsikan sebagai alat untuk melihat, sedangkan istilah tunanetra digunakan
untuk menunjukan adanya gradasi atau tingkatan kerusakan/gangguan penglihatan mulai
yang berat, bahkan sampai buta total.
Dari segi harfiah, kata tunanetra
terdiri dari kata tuna dan netra. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kata
tuna berarti tidak memilki, tidak punya ,luka atau rusak, sedangkan netra
berarti penglihatan.dengan demikian, tuna netra mempunyai arti tidak memiliki
atau rusak penglihatannya.
Sebagian ahli mengelompokkannya menjadi kurang
lihat(low vision) buta (blind) dan buta total (totally Blind) anak yang
memiliki kerusakan ringan pada penglihatannya (seperti myopia dan hypermetropia
ringan ) masih dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata dan bisa mengikuti
pendidikan seperti anak yang lainnya.
Barraga dalam Samuel A.Kirk,
mengemukakan bahwa orang yang buta memiliki persepsi sinar tanpa proyeksi (yang
berarti mereka merasakan adanya sinar tetapi tidak mampu memproyeksikannya atau
mengidentifikasi sumber sinarnya), sedangkan Faye dalam Samuel A.Kirk mendefinisikan
orang yang kurang lihat sebagai orang yang meskipun sudah diperbaiki
penglihatannya masih lebih rendah atau kurang dari normal tetapi memiliki
penglihatan yang dapat dipergunakan secara berarti. Geraldine I School,
mengemukakan bahwa orang yang memiliki kebutaan menurut hukum (legal
blindness), apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang
pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman
penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet,
tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya sedemikian luas sehingga diameter
terluas dari lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20
derajat pada mata terbaiknya.
2.
Klasifikasi
Tunanetra
Ketunanetraan
dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 hal:
a) Berdasarkan
Tingkat Ketajaman Penglihatan
Tingkat
ketajaman penglihatan yang dihasilkan dari tes Snellen, dapat dikelompokan
menjadi berbagai tingkatan. Hasil tes Snellen 20/20 feet atau 6/6 meter
menunjukan bahwa penglihatannya normal. Gangguan penglihatan yang ringan atau
yang mempunyai ketajaman antara 6/6 meter - 6/16 m atau 20/20 feet -20/50 feet,
tidak dikelompokkan pada tunanetra atau bahkan masih dapat dikatakan normal
sedangkan yang mengalami gangguan penglihatan yang cukup berat atau kurang dari
6/20m atau 20/70 feet, sudah dikategorikan tunanetra. Dengan demikian,
klasifikasi tunanetra berdasarkan ketajaman penglihatan dapat dikemukakan
sebagai berikut:
& Tunanetra
dengan ketajaman penglihatan 6/20 m - 6/60 m atau 20/70 feet -20/200 feet.
Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya dikatakan tunanetra (low
vision). Pada taraf ini, para penderita masih mampu melihat dengan bantuan alat
khusus.
& Tunanetra
dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang.
Tingkat ketajaman seperti ini sudah
dikatakan tunanetra berat atau secara umum dapat dikatakan buta (bind).
Kelompok ini masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi berikut ini:
1) Kelompok
tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan.
2) Kelompok
tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
& Tunanetra
yang memiliki visus 0
Pada
taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu lagi melihat rangsangan cahaya
atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun. Kelompok ini sering disebut
buta total (totally blind).
b) Berdasarkan
saat terjadinya ketunanetraan
F Tunanetra
sebelum dan sejak lahir
Kelompok
ini terdiri dari orang yang mengalami ketunanetraan pada saat dalam kandungan
atau sebelum usia satu tahun.
F Tunanetra
batita
Tunanetra
batita yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia dibawah
tiga tahun.
F Tunanetra
balita
Tunanetra
balita yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia antara 3-5
tahun.
F Tunanetra
pada usia sekolah
Kelompok
ini meliputi anak yang mengalami ketunanetraan pada usia anak 6 -12 tahun.
F Tunanetra
remaja
Tunanetra
remaja adalah orang yang mengalami ketunanetraan pada saat usia remaja atau
antara usia 13-19 tahun.
F Tunanetra
dewasa
Tunanetra
dewasa yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada usia dewasa atau usia 19
tahun keatas.
c) Berdasarkan
adaptasi pendidikan
Klasifikasi
tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman tetapi didasarkan
adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang sangat penting dalam membantu
mereka belajar atau diperlukan dalam menentukan pelayanan pendidikan yang sesuai
dengan kemampuan penglihatannya. Klasifikasi ini dikemukakan oleh Kirk, yaitu sebagai
berikut:
& Ketidakmampuan
melihat taraf sedang
& Ketidakmampuan
melihat taraf berat
& Ketidakmampuan
melihat taraf sangat berat
3.
Penyebab
Terjadinya Tunanetra
Penyebab
tunanetra pada faktor internal dan eksternal :
a. Faktor
internal
Faktor
internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri individu,
yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi
pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.
b. Faktor
eksternal
Faktor
eksternal yang dimaksudkan disini merupakan penyebab ketunanetraan yang berasal
dari luar diri individu. Antara lain sebagai berikut:
& Penyakit
rubella dan syphilis
Merupakan
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus yang sering berbahaya dan sulit di
diagnosa secara klinis.
& Glaukoma
Merupakan
suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan pada bola mata. Hal ini
terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna pada saat pembentukannya
dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran pada bola mata, kornea
menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau.
& Retinopati
diabetes
Suatu
kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam suplai/aliran darah pada
retina. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit diabetes.
& Retinoblastoma
Merupakan
tumor ganas yang terjadi pada retina dan sering ditemukan pada anak-anak.
& Kekurangan
vitamin A
Vitamin
A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Kekurangan vitamin A akan menyebabkan
kerusakan pada matanya, yaitu kerusakan pada sensitivitas retina terhadap
cahaya (rabun senja) dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi yang
terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan pada
epitel.
& Terkena
zat kimia
Zat-zat
kimia juga dapat merusak apabila penggunaannya tidak hati-hati.
& Kecelakaan
Benturan
keras mengenai syaraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata, dapat
menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan ketunanetraan.
4.
Pencegahan
Terjadinya Tunanetra
a. Pencegahan
secara Medis
& Melakukan
pemeriksaan genetika kepada dokter ahli sebelum menikah sehingga akan diketahui
apakah gen mereka dapat meneyebabkan kecacatan atau tidak pada anak yang kelak
akan dilahirkan.
& Menghindari
penggunaan terapi radioaktif bagi ibu hamil, terutama pada usia kandungan 3
bulan pertama dan 3 bulan ketiga.
& Pencegahan
terhadap virus menular seperti virus rubella, syphilis, dan sebagainya.
& Pemberian
vitamin A dosis tinggi untuk mencegah kekurangan vitamin A .
& Melakukan
pemeriksaan dini kepada dokter mata, apabila terjadi keluhan pada mata secara
serius.
b. Pencegahan
secara sosial
Ditinjau
dari segi sosial, upaya pencegahan terjadinya tunanetra dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut:
v Memberikan
penyuluhan mengenai penyebab terjadinya tunanetra.
v Kegiatan
yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
v Meningkatkan
perlindungan keselamatan kerja para buruh di perusahaan-perusahaan, terutama
pada perusahaan yang banyak menggunakan bahan kimia.
c. Pencegahan
secara Edukatif
Dalam
upaya pencegahan tunanetra secara
edukatif, keluarga dan sekolah memegang peranan penting yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Ø Peranan
keluarga
Keluarga
memegang peran penting dalam menanamkan kebiasaan hidup sehat, terutama dalam
penggunaan dan pemeliharaan kesehatan penglihatannya.
Ø Peranan
sekolah
Sekolah
sebagai wahana bagi anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan, turut berperan
dalam upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada para siswa.
B.
KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA
1.
Karakteristik Anak Tunanetra dalam
Aspek Akademis
Menurut
Tillman & Obsorg (1969), ada beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan
anak awas yaitu:
a.
Anak-anak
tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti anak awas, tetapi
pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
b.
Anak-anak
tunanetra mendapat angka yang hampir sama dengan anak awas dalam hal berhitung,
informasi, dan kosa kata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman
(comprehension) dan persamaan.
c.
Kosa
kata anak-anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif, sedangkan
anak awas menggunakan arti yang lebih luas. Contoh, bagi anak tunanetra kata
malam berarti gelap atau hitam, sedangkan bagi anak awas, kata malam mempunyai
makna cukup luas, seperti malam penuh bintang atau malam yang indah dengan
sinar purnama.
Study yang dilakukan oleh Kephart &
Schwartz (1974), juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan
penglihatan yang berat cenderung memperoleh kemampuan berkomunikasi secara
lisan, dan mampu berprestasi, seperti anak awas (ada beberapa tes standar). Di
lain pihak kemampuan mereka untuk memproses informasi sering berakhir dengan
pengertian yang terpecah-pecah atau kurang terintegrasi, sekalipun dalam konsep
yang sederhana.
Dengan
demikian, berbagai pendapat diatas menunjukkan bahwa ketunanetraan dapat
mempengaruhi prestasi akademik para penyandangnya. Disamping itu peningkatan
dalam penggunaan media pembelajaran yang bersifat auditory dan taktil dapat
mengurangi hambatan dalam kegiatan akademik siswa. Disamping itu pendengaran merupakan
indra mereka yang dapat digunakan untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang
mereka peroleh karena mereka mempunyai bakat (talented) dalam bidang musik.
2.
Karakteristik Anak Tunanetra dalam
Aspek Pribadi dan Sosial
Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin
terjadi pada anak tunanetra yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari kebutaannya adalah:
v Curiga pada orang lain
Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan
anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga
kemampuan mobilitasnya pun terganggu.
v Mudah tersinggung
Pengalaman sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa
dapat mempengaruhi tunanetra sehingga tekanan-tekanan suara tertentu atau
singgungan fisik yang tidak sengaja dari orang lain dapat menyinggung
perasaannya.
v Ketergantungan pada orang lain
Sifat ketergantungan pada orang lain mungkin saja terjadi
pada tunanetra. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena ia belum berusaha
sepenuhnya dalam mengatasi kesulitannya sehingga selalu mengharapkan
pertolongan orang lain.
3.
Karakteristik Anak Tunanetra dalam
Aspek Fisik/sensoris dan Motorik/perilaku
v Aspek fisik dan sensoris
Dilihat secara
fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra. Hal
tersebut dapat dilihat dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg
serta agak kaku. Pada umumnya kondisi mata tunanetra dapat dengan jelas
dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang tunanetra ada yang terlihat putih
semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya agak menonjol keluar. Namun ada
juga yang secara anatomis matanya, seperti orang awas sehingga kadang-kadang
kita ragu kalau dia itu seorang tunanetra, tetapi kalau ia sudah bergerak atau
berjalan akan tampak bahwa ia tunanetra.
Dalam segi indra, umumnya anak
tunanetra menunjukkan kepekaan yang lebih baik ada indra pendengaran dan
perabaan dibanding anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara
otomatis, melainkan melalui proses latihan.
v Aspek Motorik/Perilaku
Ditinjau dari aspek motorik/perilaku
anak tunanetra menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
a) Gerakannya agak kaku dan kurang
fleksibel
Oleh karena keterbatasan penglihatannya anak tunanetra
tidak bebas bergerak, seperti halnya anak awas. Dalam melakukan aktivitas
motorik, seperti jalan, berlari atau melompat, cenderung menampakkan gerakan
yang kaku dan kurang fleksibel.
b) Perilaku stereotipee (stereotypic
behavior)
Sebagian anak tunanetra ada yang suka mengulang-ngulang
gerakan tertentu, seperti mengedip-ngedipkan atau menggosok-gosok matanya.
Perilaku seperti itu disebut perilaku stereotipee (stereotypic behavior).
Perilaku stereotipe lainnya adalah menepuk-nepuk tangan.
Disamping
karakteristik diatas, berikut ini akan dikemukakan aktivitas-aktivitas motorik
yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat (low vision).
a.
Selalu
melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda. Dengan mengerutkan
dahi, ia mencoba melihat benda yang ada di sekitarnya.
b.
Memiringkan
kepala apabila akan memulai melakukan suatu pekerjaan. Hal itu dilakukan untuk
mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dan daya lihatnya.
c.
Sisa
penglihatannya mampu mengikuti gerak benda. Apabila ada benda bergerak di
depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda tersebut sampai benda tersebut
tidak tampak lagi.
C. KEBUTUHAN DAN LAYANAN PENDIDIKAN
BAGI ANAK TUNANETRA
1.
Kebutuhan
Pendidikan
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak
tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak , dari
satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, kepada mereka
perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas
dengan cepat , tepat dan aman bagi anak yang tergolong buta sisa penglihatannya
tidak lagi digunakan untuk membaca huruf awas sehinga bagi mereka
digunakan huruf Braille.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas,
menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang
awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena memiliki hambatan maka
selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak
tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
2.
Layanan
Pendidikan Bagi Anak Tunanetra
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra
pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan bagi anak awas hanya dalam teknik
penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan atau
karakteristik anak tunanetra.
a.
Jenis
Layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan
pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan umum dan layanan khusus.
ð Layanan
umum
Latihan yang diberikan
terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
v Keterampilan
v Kesenian
v Olahraga
ð Layanan
khusus/layanan rehabilitasi
Layanan
khusus /rehabilitasi yang diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain
sebagai berikut:
F latihan
membaca dan menulis braille
F latihan
penggunaan tongkat
F latihan
orientasi dan mobilitas
F latihan
visual/fungsional penglihatan
b.
Tempat
/Sistem Layanan
ð Tempat
khusus/ sistem segregasi
Tempat
pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a) Sekolah
khusus
Sekolah
khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB
bagian A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak
tunanetra.
b) Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB
yang dimaksudkan disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB
yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan,
yaitu anak tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu
sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa.
c) Kelas
jauh/kelas kunjung
Kelas
jauh/kelas kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan
pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal
jauh dari SLB/SDLB.
ð Sekolah
biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan sistem pendidikan
terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru Pembimbing Khusus
(GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan khusus bagi anak
tunanetra.
Melalui sistem integrasi/terpadu, anak
tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal (awas) dengan memperoleh hak
kewajiban yang sederajat. Sekolah dasar
atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa pada
umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah tersebut
tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan sekolah
terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah biasa
lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh
keuntungan berikut:
a) Memperoleh
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan
anak awas lainnya.
b) Kesempatan
yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan
membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.
Bentuk
keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk &
Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang
meliputi:
v Bentuk
kelas biasa dengan guru konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
v Kelas
biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
v Kelas
biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
v Kelas
khusus (special class)
c.
Ciri
Khas Layanan
Hal-hal
yang khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1) Penempatan
anak tunanetra
Dalam
menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
| Anak
tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan
jelas.
| Memberikan
kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan
kemampuan penglihatannya
| Anak
tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas,
agar terjadi proses saling membantu.
| Tidak
diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan
anak awas.
2) Alat
peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga
bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3) Ruang
belajar bagi anak tunanetra terutama anak low
vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.
d.
Strategi
dan Media Pembelajaran
a) Strategi
pembelajaran
Strategi pembelajaran pada dasarnya
adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat
dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media,
metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses
pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam proses pembelajaran, dapat
digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang didasarkan pada pertimbangan
tertentu, antara lain berikut ini:
1) Berdasarkan
pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu
deduktif dan induktif.
2) Berdasarkan
pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik
dan heuristik.
3) Berdasarkan
pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran
dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
4) Berdasarkan
pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok
kecil, dan individual.
5) Berdasarkan
interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan
melalui media.
Di samping strategi yang telah
dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
anak tunanetra, yaitu:
· Strategi
individualisasi,
· Kooperatif,
dan
· Modifikasi
perilaku
Permasalahan dalam strategi pembelajaran
anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam melakukan penyesuaian
(modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan
maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat diterima/ditangkap
oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi, yaitu indera
pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru
membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi pada anak tunanetra agar
lebih peka dalam menangkap pesan pembelajaran.
Agar lebih mudah melakukan modifikasi
dalam strategi pembelajaran anak tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip
dasar dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
(1) Prinsip
individual
Prinsip
individual, mempunyai pengertian bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru
harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individu.
(2) Prinsip
kekonkretan/pengalaman penginderaan langsung
Prinsip
ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang digunakan guru harus
memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang
dipelajarinya.
(3) Prinsip
totalitas
Prinsip
ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus
memungkinkan anak tunanetra memperoleh pengalaman objek atau setuasi secara
total atau menyeluruh.
(4) Prinsip
aktivitas mandiri (self activity)
Prinsip
ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa
memperoleh kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Dengan demikian,
guru berfungsi sebagai fasilitator, yang membantu kemudahan siswa belajar dan
motivasi, yang membangkitkan motivasi anak untuk belajar.
b) Media
pembelajaran
Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari
suatu proses pembelajaran karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut,
salah satunya ditentukan oleh penggunaan komponen ini.
Menurut fungsinya, media pembelajaran
dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai berikut.
· Media
yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut sebagai
alat peraga.
· Media
yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu sendiri yang
sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut
ini akan dijelaskan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang
dapat digunakan dalam proses pembelajaran anak tunanetra.
1) Alat
peraga
a) Objek
atau situasi yang sebenarnya.
Contohnya,
objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
b) Benda
asli yang diawetkan, contohnya binatang yang diawetkan.
c) Tiruan
(model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
· Model/tiruan
3 dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi (memiliki volume)
sehingga bentuknya hampir sama dengan objek sebenarnya, akan tetapi sifat
substansi, permukaan, dan ukuran ada kemungkinan tidak sama.
· Model
dua dimensi, yaitu dimensi panjang dan lebar.
2) Alat
bantu pembelajaran
Alat
bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak tunanetra, antara lain berikut
ini.
§ Alat
bantu untuk baca-tulis,
§ Alat
bantu untuk membaca (bagi anak low vision),
§ Alat
bantu berhitung,
§ Alat
bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra.
e. Evaluasi
Evaluasi
terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, pada dasarnya sama
dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang
menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau
pertanyaan yang diberikan kepada anak tunanetra, tidak mengandung unsur-unsur
yang memerlukan persepsi visual. Contohnya anda tidak dapat menanyakan tentang
warna kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi
visual.
§ Soal
yang diberikan kepada anak tunanetra yang tergolong buta, hendaknya dalam
bentuk huruf braille, sedangkan bagi anak low
vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya disesuaikan dengan
kemampuan penglihatannya.
§ Anda
harus bersifat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar anak
tunanetra atau memberikan penilaian yang sesuai dengan kemampuan.
§ Waktu
pelaksanaan tes bagi anak tunanetra, hendaknya lebih lama dibandingkan dengan
pelaksanaan tes untuk anak awas.
D.
MASALAH
DAN DAMPAK KETUNANETRAAN BAGI KELUARGA, MASYARAKAT, DAN PENYELENGGARA
PENDIDIKAN
1.
Masalah-masalah
yang Dihadapi Anak Tunanetra
Anak tunanetra
cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan masalah
pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang, maupun pekerjaan.
Semua permasalahan tersebut perlu diantisipasi dengan memberikan layanan
pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas bagi anak
tunanetra sehingga permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam berbagai
aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin. Artinya perlu dilakukan
upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidisipliner untuk mencegah jangan
sampai permasalahan tersebut muncul, meluas, dan mendalam, yang akhirnya dapat
merugikan perkembangan anak tunanetra tersebut.
2.
Dampak
Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
Yang paling berat dan
pertama kali merasakan dampak ketunanetraan anak adalah keluarganya, terutama
orang tua, kehadiran anak tunanetra akan melahirkan berbagai reaksi dari orang
tua. Bagaimana reaksi orang tua tersebut dalam menerima kehadiran anaknya yang
tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan
pribadi-pribadi anak di kemudian hari. Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan
anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
(a) Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
(b) Penyangkalan
terhadap ketunanetraan anak.
(c) Overprotection
atau perlindungan yang berlebihan.
(d) Penolakan
secara tertutup.
(e) Penolakan
secara terbuka.
Mengenai sikap para guru
sebagai penyelenggara pendidikan, hasil penelitian Murphy (Kirtley, 1975)
menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung
mengesampingkan anak tunanetra. Namun diketahui pula bahwa para guru khusus
(guru PLB) cenderung lebih bersikap positif terhadap anak tunanetra. Hasil penelitian ini juga dapat
dimaklumi karena para guru biasa umumnya
tidak pernah berhubungan dengan anak tunanetra, khususnya di dalam kelas.
Sementara itu hasil penelitian Sunaryo dan Sunardi (1992) terhdap guru-guru SD
menunjukkan bahwa pada umumnya para guru memilki sikap yang cukup positif
terhadap anak luar biasa pada umumnya, termasuk tunanetra.