Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 31 Maret 2013

KARAKTERISTIK DAN PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA


A.      PENGERTIAN, KLASIFIKASI, PENYEBAB, DAN CARA PENCEGAHAN
1.    Pengertian Tunanetra
Sebenarnya penggunaan istilah  buta kurang tepat, sebab tidak semua tunanetra mengalami kebutaan. Istilah buta dimaksudkan untuk menunjukkan seseorang yang sudah rusak penglihatannya sehingga sulit sekali untuk difungsikan sebagai alat untuk melihat, sedangkan istilah tunanetra digunakan untuk menunjukan adanya gradasi atau tingkatan kerusakan/gangguan penglihatan mulai yang berat, bahkan sampai buta total.
Dari segi harfiah, kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, kata tuna berarti tidak memilki, tidak punya ,luka atau rusak, sedangkan netra berarti penglihatan.dengan demikian, tuna netra mempunyai arti tidak memiliki atau rusak penglihatannya.
 Sebagian ahli mengelompokkannya menjadi kurang lihat(low vision) buta (blind) dan buta total (totally Blind) anak yang memiliki kerusakan ringan pada penglihatannya (seperti myopia dan hypermetropia ringan ) masih dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata dan bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang lainnya.
Barraga dalam Samuel A.Kirk, mengemukakan bahwa orang yang buta memiliki persepsi sinar tanpa proyeksi (yang berarti mereka merasakan adanya sinar tetapi tidak mampu memproyeksikannya atau mengidentifikasi sumber sinarnya), sedangkan Faye dalam Samuel A.Kirk mendefinisikan orang yang kurang lihat sebagai orang yang meskipun sudah diperbaiki penglihatannya masih lebih rendah atau kurang dari normal tetapi memiliki penglihatan yang dapat dipergunakan secara berarti. Geraldine I School, mengemukakan bahwa orang yang memiliki kebutaan menurut hukum (legal blindness), apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya sedemikian luas sehingga diameter terluas dari lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.

2.    Klasifikasi Tunanetra
Ketunanetraan dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 hal:
a)    Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Tingkat ketajaman penglihatan yang dihasilkan dari tes Snellen, dapat dikelompokan menjadi berbagai tingkatan. Hasil tes Snellen 20/20 feet atau 6/6 meter menunjukan bahwa penglihatannya normal. Gangguan penglihatan yang ringan atau yang mempunyai ketajaman antara 6/6 meter - 6/16 m atau 20/20 feet -20/50 feet, tidak dikelompokkan pada tunanetra atau bahkan masih dapat dikatakan normal sedangkan yang mengalami gangguan penglihatan yang cukup berat atau kurang dari 6/20m atau 20/70 feet, sudah dikategorikan tunanetra. Dengan demikian, klasifikasi tunanetra berdasarkan ketajaman penglihatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
& Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20 m - 6/60 m atau 20/70 feet -20/200 feet. Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya dikatakan tunanetra (low vision). Pada taraf ini, para penderita masih mampu melihat dengan bantuan alat khusus.
& Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang.
Tingkat ketajaman seperti ini sudah dikatakan tunanetra berat atau secara umum dapat dikatakan buta (bind). Kelompok ini masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi berikut ini:
1)      Kelompok tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan.
2)      Kelompok tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
& Tunanetra yang memiliki visus 0
Pada taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu lagi melihat rangsangan cahaya atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun. Kelompok ini sering disebut buta total (totally blind).


b)   Berdasarkan saat terjadinya ketunanetraan
F  Tunanetra sebelum dan sejak lahir
Kelompok ini terdiri dari orang yang mengalami ketunanetraan pada saat dalam kandungan atau sebelum usia satu tahun.
F  Tunanetra batita
Tunanetra batita yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia dibawah tiga tahun.
F  Tunanetra balita
Tunanetra balita yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia antara 3-5 tahun.
F  Tunanetra pada usia sekolah
Kelompok ini meliputi anak yang mengalami ketunanetraan pada usia anak 6 -12 tahun.
F  Tunanetra remaja
Tunanetra remaja adalah orang yang mengalami ketunanetraan pada saat usia remaja atau antara usia 13-19 tahun.
F  Tunanetra dewasa
Tunanetra dewasa yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada usia dewasa atau usia 19 tahun keatas.
c)    Berdasarkan adaptasi pendidikan
Klasifikasi tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman tetapi didasarkan adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang sangat penting dalam membantu mereka belajar atau diperlukan dalam menentukan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya. Klasifikasi ini dikemukakan oleh Kirk, yaitu sebagai berikut:
&  Ketidakmampuan melihat taraf sedang
&  Ketidakmampuan melihat taraf berat
&  Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat


3.    Penyebab Terjadinya Tunanetra
Penyebab tunanetra pada faktor internal dan eksternal :
a.    Faktor internal
Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri individu, yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antarkeluarga dekat dan perkawinan antartunanetra.
b.    Faktor eksternal
Faktor eksternal yang dimaksudkan disini merupakan penyebab ketunanetraan yang berasal dari luar diri individu. Antara lain sebagai berikut:
&  Penyakit rubella dan syphilis
Merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus yang sering berbahaya dan sulit di diagnosa secara klinis.
& Glaukoma
Merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan pada bola mata. Hal ini terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna pada saat pembentukannya dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran pada bola mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau.
& Retinopati diabetes
Suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam suplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit diabetes.
& Retinoblastoma
Merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina dan sering ditemukan pada anak-anak.
& Kekurangan vitamin A
Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Kekurangan vitamin A akan menyebabkan kerusakan pada matanya, yaitu kerusakan pada sensitivitas retina terhadap cahaya (rabun senja) dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan pada epitel. 
& Terkena zat kimia
Zat-zat kimia juga dapat merusak apabila penggunaannya tidak hati-hati.
& Kecelakaan
Benturan keras mengenai syaraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata, dapat menyebabkan gangguan penglihatan, bahkan ketunanetraan.

4.    Pencegahan Terjadinya Tunanetra
a.    Pencegahan secara Medis
& Melakukan pemeriksaan genetika kepada dokter ahli sebelum menikah sehingga akan diketahui apakah gen mereka dapat meneyebabkan kecacatan atau tidak pada anak yang kelak akan dilahirkan.
& Menghindari penggunaan terapi radioaktif bagi ibu hamil, terutama pada usia kandungan 3 bulan pertama dan 3 bulan ketiga.
& Pencegahan terhadap virus menular seperti virus rubella, syphilis, dan sebagainya.
& Pemberian vitamin A dosis tinggi untuk mencegah kekurangan vitamin A .
& Melakukan pemeriksaan dini kepada dokter mata, apabila terjadi keluhan pada mata secara serius.


b.    Pencegahan secara sosial
Ditinjau dari segi sosial, upaya pencegahan terjadinya tunanetra dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut:
v Memberikan penyuluhan mengenai penyebab terjadinya tunanetra.
v Kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
v Meningkatkan perlindungan keselamatan kerja para buruh di perusahaan-perusahaan, terutama pada perusahaan yang banyak menggunakan bahan kimia.
c.    Pencegahan secara Edukatif
Dalam upaya pencegahan tunanetra  secara edukatif, keluarga dan sekolah memegang peranan penting yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ø  Peranan keluarga
Keluarga memegang peran penting dalam menanamkan kebiasaan hidup sehat, terutama dalam penggunaan dan pemeliharaan kesehatan penglihatannya.
Ø  Peranan sekolah
Sekolah sebagai wahana bagi anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan, turut berperan dalam upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada para siswa.


B. KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA
1.         Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis
            Menurut Tillman & Obsorg (1969), ada beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas yaitu:
a.       Anak-anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus seperti anak awas, tetapi pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
b.      Anak-anak tunanetra mendapat angka yang hampir sama dengan anak awas dalam hal berhitung, informasi, dan kosa kata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan persamaan.
c.       Kosa kata anak-anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif, sedangkan anak awas menggunakan arti yang lebih luas. Contoh, bagi anak tunanetra kata malam berarti gelap atau hitam, sedangkan bagi anak awas, kata malam mempunyai makna cukup luas, seperti malam penuh bintang atau malam yang indah dengan sinar purnama.
         Study yang dilakukan oleh Kephart & Schwartz (1974), juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan yang berat cenderung memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan, dan mampu berprestasi, seperti anak awas (ada beberapa tes standar). Di lain pihak kemampuan mereka untuk memproses informasi sering berakhir dengan pengertian yang terpecah-pecah atau kurang terintegrasi, sekalipun dalam konsep yang sederhana.
       Dengan  demikian, berbagai pendapat diatas menunjukkan bahwa ketunanetraan dapat mempengaruhi prestasi akademik para penyandangnya. Disamping itu peningkatan dalam penggunaan media pembelajaran yang bersifat auditory dan taktil dapat mengurangi hambatan dalam kegiatan akademik siswa. Disamping itu pendengaran merupakan indra mereka yang dapat digunakan untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka mempunyai bakat (talented) dalam bidang musik.
2.      Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Pribadi dan Sosial
Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak tunanetra yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya adalah:
v  Curiga pada orang lain
Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu.
v  Mudah tersinggung
Pengalaman sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa dapat mempengaruhi tunanetra sehingga tekanan-tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak sengaja dari orang lain dapat menyinggung perasaannya.
v  Ketergantungan pada orang lain
Sifat ketergantungan pada orang lain mungkin saja terjadi pada tunanetra. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena ia belum berusaha sepenuhnya dalam mengatasi kesulitannya sehingga selalu mengharapkan pertolongan orang lain.

3.      Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Fisik/sensoris dan Motorik/perilaku
v  Aspek fisik dan sensoris
 Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku. Pada umumnya kondisi mata tunanetra dapat dengan jelas dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang tunanetra ada yang terlihat putih semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya agak menonjol keluar. Namun ada juga yang secara anatomis matanya, seperti orang awas sehingga kadang-kadang kita ragu kalau dia itu seorang tunanetra, tetapi kalau ia sudah bergerak atau berjalan akan tampak bahwa ia tunanetra.
        Dalam segi indra, umumnya anak tunanetra menunjukkan kepekaan yang lebih baik ada indra pendengaran dan perabaan dibanding anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara otomatis, melainkan melalui proses latihan.
v  Aspek Motorik/Perilaku
        Ditinjau dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
a)      Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Oleh karena keterbatasan penglihatannya anak tunanetra tidak bebas bergerak, seperti halnya anak awas. Dalam melakukan aktivitas motorik, seperti jalan, berlari atau melompat, cenderung menampakkan gerakan yang kaku dan kurang fleksibel.
b)      Perilaku stereotipee (stereotypic behavior)
Sebagian anak tunanetra ada yang suka mengulang-ngulang gerakan tertentu, seperti mengedip-ngedipkan atau menggosok-gosok matanya. Perilaku seperti itu disebut perilaku stereotipee (stereotypic behavior). Perilaku stereotipe lainnya adalah menepuk-nepuk tangan.

        Disamping karakteristik diatas, berikut ini akan dikemukakan aktivitas-aktivitas motorik yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat (low vision).
a.    Selalu melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda. Dengan mengerutkan dahi, ia mencoba melihat benda yang ada di sekitarnya.
b.    Memiringkan kepala apabila akan memulai melakukan suatu pekerjaan. Hal itu dilakukan untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dan daya lihatnya.
c.    Sisa penglihatannya mampu mengikuti gerak benda. Apabila ada benda bergerak di depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda tersebut sampai benda tersebut tidak tampak lagi.

C.      KEBUTUHAN DAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNANETRA
1.    Kebutuhan Pendidikan
Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya sulit untuk bergerak , dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar dapat melakukan mobilitas dengan cepat , tepat dan aman bagi anak yang tergolong buta sisa penglihatannya tidak lagi digunakan untuk membaca huruf awas sehinga bagi mereka digunakan  huruf Braille.
Adanya keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena memiliki hambatan maka selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
2.    Layanan Pendidikan Bagi Anak Tunanetra
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra.
a.    Jenis Layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan umum dan layanan khusus.
ð Layanan umum
Latihan yang diberikan terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
v Keterampilan
v Kesenian
v Olahraga

ð Layanan khusus/layanan rehabilitasi
Layanan khusus /rehabilitasi yang diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain sebagai berikut:
F  latihan membaca dan menulis braille
F  latihan penggunaan tongkat
F  latihan orientasi dan mobilitas
F  latihan visual/fungsional penglihatan
b.   Tempat /Sistem Layanan
ð Tempat khusus/ sistem segregasi
Tempat pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a)    Sekolah khusus
Sekolah khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB bagian A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak tunanetra.
b)   Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB yang dimaksudkan disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan, yaitu anak tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa.
c)    Kelas jauh/kelas kunjung
Kelas jauh/kelas kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.
ð Sekolah biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru Pembimbing Khusus (GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan khusus bagi anak tunanetra.
Melalui sistem integrasi/terpadu, anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal (awas) dengan memperoleh hak kewajiban  yang sederajat. Sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh keuntungan berikut:
a)    Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan bersama-sama dengan anak awas lainnya.
b)   Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temannya yang awas.
Bentuk keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk & Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang meliputi:
v Bentuk kelas biasa dengan guru konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
v Kelas biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
v Kelas biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
v Kelas khusus (special class)
c.    Ciri Khas Layanan
Hal-hal yang khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1)   Penempatan anak tunanetra
Dalam menempatkan anak tunanetra, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
| Anak tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat mendengarkan penjelasan guru dengan jelas.
| Memberikan kesempatan kepada anak tunanetra untuk memiliki tempat duduk yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya
| Anak tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan anak yang relatif cerdas, agar terjadi proses saling membantu.
| Tidak diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan anak awas.
2)   Alat peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna yang kontras. Pada alat peraga bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar kertas harus kontras.
3)   Ruang belajar bagi anak tunanetra terutama anak low vision cukup mendapatkan cahaya/penerangan.

d.   Strategi dan Media Pembelajaran
a)    Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam proses pembelajaran, dapat digunakan berbagai macam strategi pembelajaran yang didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut ini:
1)   Berdasarkan pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi pembelajaran, yaitu deduktif dan induktif.
2)   Berdasarkan pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik dan heuristik.
3)   Berdasarkan pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam strategi, yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu (team teaching).
4)   Berdasarkan pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal, kelompok kecil, dan individual.
5)   Berdasarkan interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka, dan melalui media.
Di samping strategi yang telah dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu:
·      Strategi individualisasi,
·      Kooperatif, dan
·      Modifikasi perilaku
Permasalahan dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa penglihatan (bagi anak low vision).
Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan pembelajaran.
Agar lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran anak tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
(1)      Prinsip individual
Prinsip individual, mempunyai pengertian bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individu.
(2)      Prinsip kekonkretan/pengalaman penginderaan langsung
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memungkinkan anak tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
(3)      Prinsip totalitas
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus memungkinkan anak tunanetra memperoleh pengalaman objek atau setuasi secara total atau menyeluruh.
(4)      Prinsip aktivitas mandiri (self activity)
Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk belajar secara aktif dan mandiri. Dengan demikian, guru berfungsi sebagai fasilitator, yang membantu kemudahan siswa belajar dan motivasi, yang membangkitkan motivasi anak untuk belajar.
b)   Media pembelajaran
  Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses pembelajaran karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut, salah satunya ditentukan oleh penggunaan komponen ini.
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok sebagai berikut.
·      Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut sebagai alat peraga.
·      Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu sendiri yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut ini akan dijelaskan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran anak tunanetra.
1)      Alat peraga
a)      Objek atau situasi yang sebenarnya.
Contohnya, objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
b)      Benda asli yang diawetkan, contohnya binatang yang diawetkan.
c)      Tiruan (model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
·      Model/tiruan 3 dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi (memiliki volume) sehingga bentuknya hampir sama dengan objek sebenarnya, akan tetapi sifat substansi, permukaan, dan ukuran ada kemungkinan tidak sama.
·      Model dua dimensi, yaitu dimensi panjang dan lebar.
2)      Alat bantu pembelajaran
Alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak tunanetra, antara lain berikut ini.
§  Alat bantu untuk baca-tulis,
§  Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision),
§  Alat bantu berhitung,
§  Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra.
e.    Evaluasi
Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, pada dasarnya sama dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau pertanyaan yang diberikan kepada anak tunanetra, tidak mengandung unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual. Contohnya anda tidak dapat menanyakan tentang warna kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi visual.
§  Soal yang diberikan kepada anak tunanetra yang tergolong buta, hendaknya dalam bentuk huruf braille, sedangkan bagi anak low vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya.
§  Anda harus bersifat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar anak tunanetra atau memberikan penilaian yang sesuai dengan kemampuan.
§  Waktu pelaksanaan tes bagi anak tunanetra, hendaknya lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk anak awas.


D.      MASALAH DAN DAMPAK KETUNANETRAAN BAGI KELUARGA, MASYARAKAT, DAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN
1.      Masalah-masalah yang Dihadapi Anak Tunanetra
Anak tunanetra cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang, maupun pekerjaan. Semua permasalahan tersebut perlu diantisipasi dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas bagi anak tunanetra sehingga permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam berbagai aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin. Artinya perlu dilakukan upaya-upaya khusus secara terpadu dan multidisipliner untuk mencegah jangan sampai permasalahan tersebut muncul, meluas, dan mendalam, yang akhirnya dapat merugikan perkembangan anak tunanetra tersebut.
2.      Dampak Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara Pendidikan
Yang paling berat dan pertama kali merasakan dampak ketunanetraan anak adalah keluarganya, terutama orang tua, kehadiran anak tunanetra akan melahirkan berbagai reaksi dari orang tua. Bagaimana reaksi orang tua tersebut dalam menerima kehadiran anaknya yang tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan pribadi-pribadi anak di kemudian hari. Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
(a)    Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
(b)   Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak.
(c)    Overprotection atau perlindungan yang berlebihan.
(d)   Penolakan secara tertutup.
(e)    Penolakan secara terbuka.
Mengenai sikap para guru sebagai penyelenggara pendidikan, hasil penelitian Murphy (Kirtley, 1975) menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dan guru PLB) cenderung mengesampingkan anak tunanetra. Namun diketahui pula bahwa para guru khusus (guru PLB) cenderung lebih bersikap positif terhadap anak tunanetra.  Hasil penelitian ini juga dapat dimaklumi  karena para guru biasa umumnya tidak pernah berhubungan dengan anak tunanetra, khususnya di dalam kelas. Sementara itu hasil penelitian Sunaryo dan Sunardi (1992) terhdap guru-guru SD menunjukkan bahwa pada umumnya para guru memilki sikap yang cukup positif terhadap anak luar biasa pada umumnya, termasuk tunanetra.
Read more...
separador

Followers