A.
PENGERTIAN
BELAJAR MENURUT TEORI SIBERNETIK
Teori
belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relative baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar yang sudah dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori
sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Seolah-olah teori ini
mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik,
namun yang lebih penting lagi adalah system informasi yang diproses yang akan
dipelajari siswa. Informasi inilah yang akan menentukan proses. Bagaimana
proses belajar akan berlangsung, sangat ditentukan oleh system informasi yang
dipelajari.
Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada suatu proses
belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua siswa.
Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh system informasi. sebuah informasi
mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa dengan satu macam proses belajar,
dan informasi yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses
belajar yang berbeda.
Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran telah
dikembangkan oleh beberapa tokoh , diantaranya adalah pendekatan-pendekatan
yang berorientasi pada pemrosesan informasiyang dikembangkan oleh Gage dan
Berliner, Biehler, Snowman, Baine, dan Tennyson. Konsepsi Landa dalam model
pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik juga termasuk teori
sibernetik. Pask dan Scott yang membagi siswa menjadi tipe menyeluruh atau wholist,
dan tipe serial atau serialist juga menganut teori sibernetik. Masingmasing
akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
A.
Teori Pemrosesan
Informasi
Dalam upaya menjelaskan
bagaimana suatu informasi (pesan pengajaran) diterima, disandi, disimpan dan
dimunculkan kembali dari ingatan serta dimanfaatkan jka diperlukan, telah
dikembangkan sejumlah teori dan model pemrosesan informasi oleh pakar seperti
Biehler dan Snowman (1986) , Baine (1986) , Tennyson (1989). Teori-teori
tersebut umumnya berpijak pada tiga asumsi ( Lusiana, 1992) yaitu :
1. Bahwa antara stimulus dan respon terdapat
suatu seri tahapan pemrosesan informasi dimana pada masing-masing tahapan
dibutuhkan sejumlah waktu tertentu.
2. Stimulus yang
diproses melalui tahapan-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk ataupun
isinya.
3. Salah satu dari
tahapan kapasitas yang terbatas.
Dari ketiga asumsi tersebut,
dapat dikembangkan teori tentang komponen struktur dan pengatur alur pemrosesan
informasi ( proses kontrol ). Komponen pemrosesan informasi dipilah menjadi
tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi, serta proses
terjadinya “lupa” . ketiga komponen tersebut adalah 1) sensori receptor, 2)
working memory dan 3) long term memory. Ssedangkan proses control di asumsi sebagai
strategi yang tersimpan didalam ingatan dan dapat dipergunakan setiap saat
diperlukan.
a. Sensory Receptor
(SR)
Sensory receptor atau SR
merupakan sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar. Didalam SR
informasi ditangkap dalam bentuk aslinya, informasi hanya dapat bertahan dalam
waktu yang sangat singkat, dan informasi tadi mudah terganggu atau berganti.
b. Working Memory
(WM)
Working Memory (WM)
diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian (attention).
Pemberian perhatian dipengaruhi oleh peran persepsi. Karakteristik WM adalah 1)
Ia memiliki kapasitas yang terbatas, lebih kurang 7 slots. Informasi didalamnya
hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik apabila tanpa upaya pengulangan atau
rehearsal. 2) Informasi dapat disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus
aslinya. Asumsi pertama berkaitan dengan penataan jumlah informasi, sedangkan
asumsi kedua berhubungan dengan peran proses kontrol. Artinya, ada informasi
dapat bertahan dalam WM , maka upayakan jumlah informasi tidak melebihi
kapasitas WM disamping melakukan rehearsal. Sedangkan penyandian pada tahapan
WM , dalam bentuk verbal, visual, ataupun semantik, dipengaruhi oleh peran
proses kontrol dan seseorang dapat dengan sadar memngendalikannya.
c. Long Term Memory
(LTM)
Long Term Memory (LTM)
diasumsikan : 1) berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki oleh individu, 2)
mempunyai kapasitas tidak terbatas , dan 3) bahwa sekali informasi disimpan di
dalam LTM ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “ lupa” pada tahapan
ini disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang
diperlukan. Ini berarti , jika informasi ditata dengan baik maka akan
memudahkan proses penelusuran dan pemunculan kembali informasi jika diperlukan.
Dikemukakan oleh Howard (1983) bahwa informasi disimpan didalam LTM dalam
bentuk prototype yaitu suatu struktur representasi pengetahuan yang telah
dimiliki yang berfungsi sebagai kerangka untuk mengkaitkan pengetahuan baru.
Tennyson (1989) mengemukakan bahwa proses penyimpanan informasi merupakan
proses mengasimilasikan pengetahuan baru pada pengetahuan yang telah dimiliki,
yang selanjutnya berfungsi sebagai dasar pengetahuan ( knowledge base)
(Lusiana, 1992).
Sejalan dengan teori pemrosesan informasi,
Ausubel (1968) mengemukakan bahwa pemerolehan pengetahuan baru merupakan fungsi
struktur kogitif yang telah dimiliki individu. Reigeluth dan Stein (1983)
mengatakan bahwa pengetahuan ditata di dalam struktur kognitif secara
hierarkis. Ini berarti, pengetahuan yang lebih umum dan abstrak yang diperoleh
lebih dulu oleh individu dapat mempermudah pemerolehan pengetahuan baru yang
lebih rinci. Semakin baik cara penataan pengetahuan sebagai dasar pengetahuan
yang datang kemudian , semakin mudah pengetahuan tersebut ditelusuri dan
dimunculakan kembali pada saat diperlukan.